Selasa, 17 September 2013
Materi BAB 1
1. PENGERTIAN DAN DEFINISI SENI
Mengapresiasi
artinya berusaha mengerti tentang
seni dan menjadi peka terhadap segi-segi
di dalamnya, sehinga secara sadar mampu menikmati dan menilai karya dengan semestinya.
Seni adalah salah
satu unsur kebudayaan yang tumbuh dan
berkembang sejajar dengan
perkembangan manusia selaku
penggubah dan penikmat seni.
Kebudayaan adalah
hasil pemikiran, karya dan segala aktivitas (bukan perbuatan), yang
merefleksikan naluri secara murni.
Seni memiliki
nilai estetis (indah) yang disukai oleh
manusia dan mengandung ide-ide yang
dinyatakan dalam bentuk aktivitas
atau rupa sebagai lambang.
Dengan seni kita dapat memperoleh kenikmatan sebagai akibat dari refleksi perasaan
terhadap stimulus yang kita terima.
Kenikmatan seni bukanlah kenikmatan
fisik lahiriah, melainkan kenikmatan batiniah
yang muncul bila kita menangkap dan merasakan simbol-simbol estetika
dari penggubah seni. Dalam hal ini seni
memiliki nilai spiritual.
Kedalaman dan
kompleksitas seni menyebabkan para ahli
membuat definisi seni untuk mempermudah pendekatan kita dalam memahami dan menilai seni. Konsep yang muncul
bervariasi sesuai dengan latar belakang pemahaman, penghayatan, dan pandangan ahli tersebut terhadap seni.
Beberapa definisi
tersebut antara lain :
1. Ensiklopedia Indonesia
Seni adalah penciptaan benda atau segala hal yang karena keindahan bentuknya, orang senang
melihat atau mendengar.
2. Ki Hajar Dewantara
Seni merupakan
perbuatan manusia (penggubah) yang timbul dari perasaannya dan bersifat indah, sehingga dapat
menggerakkan jiwa dan perasaan manusia
(penerima).
3. Achdiat Kartamihardja
Seni adalah
kegiatan rohani manusia yang merefleksikan
realitas ke dalam suatu karya. Bentuk dan isinya mempunyai daya untuk
membangkitkan pengalaman tertentu dalam batin penerimanya.
4. Aristoteles
Seni adalah
peniruan bentuk alam dengan kreatifitas
dan ide penggubahnya agar lebih indah.
5. Leo Tolstoy
Seni adalah suatu
kegiatan manusia (penggubah) yang secara
sadar dengan perantara tanda-tanda lahiriah tertentu menyampaikan
perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain (penerima) sehingga
ikut merasakan perasaan-perasaan seperti yang
ia (penggubah) alami.
6. Schopenhauer
Seni adalah suatu usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk
yang menyenangkan. Meskipun musik adalah seni yang paling abstrak, tapi tiap
orang menyukainya.
7. Thomas Munro
Seni adalah alat buatan manusia (penggubah) untuk
menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain (penerima) yang melihatnya.
Efek-efek tersebut mencakup segala tanggapan yang berwujud pengamatan,
pengenalan, imajinasi yang rasional maupun yang emosional.
2. CABANG-CABANG SENI
Berdasarkan
realita yang berkembang di masyarakat, seni digolongkan menjadi 5 cabang
yang memiliki kesatuan dan keterkaitan.
1.
Cabang seni rupa bentuk medianya benda.
2.
Cabang seni sastra bentuk medianya tulisan
3.
Cabang seni musik bentuk medianya suara, benda, manusia
dan gerak proses
4.
Cabang seni tari bentuk medianya tubuh manusia, gerak dan
musik
5.
Cabang seni teater bentuk medianya manusia, benda/alam,
akting, adegan, suara atau musik
3. SENI SEBAGAI ESTETIKA
Estetika berada
di luar lingkup logika ataupun etika. Definisi menurut para ahli sebagai
langkah pendekatan memahaminya antara lain sebagai berikut.
1.
Al
Ghazali
Keindahan suatu
benda terletak pada perwujudan dari kesempurnaan karakteristik benda itu dan
ditambah dengan adanya jiwa atau roh di dalamnya.
2. Alexander Baumgarten
Keindahan itu
dipandang sebagai kesatuan yang merupakan susunan yang teratur dari
bagian-bagian yang mempunyai hubungan erat satu dengan yang lain secara
keseluruhan.
3. Herbert Read
Keindahan adalah
suatu kesatuan hubungan formal dari pengamatan yang menimbulkan rasa senang.
4. Immanuel kant
Keindahan
ditinjau dari dua sisi, yaitu:
Objektif : Keindahan adalah keserasian suatu objek terhadap
tujuan yang dikandungnya, sejauh objek tersebut tidak ditinjau dari segi
fungsi.
Subjektif : Keindahan adalah sesuatu yang
tanpa direnungkan dengan logika dan konsep dan tanpa disangkutpautkan dengan
kegunaan praktis dapat mendatangkan rasa senang pada si penghayat.
5. Zulser
Keindahan adalah
sesuatu yang baik dan dapat memupuk rasa moral.
6. Thomas Aquines
Keindahan akan
terbentuk jika memenuhi 3 syarat, yaitu adanya :
a.
Integritas (kesatuan) atau kesempurnaan,
b.
Proporsi yang tepat dan harmonis.
c.
Klaritas (kejelasan).
Penganut teori
objektif menempatkan rasa estetis lebih utama sehingga memliki konsep, pola
pikir, atau alasan logis mengapa sesuatu itu dikatakan indah. Penganut teori
subjektif meletakkan keindahan secara pribadi dalam diri si penikmat karya seni
sehinga tidak dapat memberi alasan mengapa sesuatu itu dikatakan indah.
Keindahan seni
adalah keindahan ekspresi, kreasi seniman. Jadi, pemandangan
alam bukan keindahan seni
4. SENI
SEBAGAI KREATIVITAS
Manusia memiliki
kelebihan berupa akal pikiran, kalbu, emosi, nafsu, dan kemampuan membuat
sesuatu. Usaha menggunakan akal pikiran untuk membuat sesuatu (kreasi) yang
baru, baik, nyata atau abstrak disebut kreativitas. Proses kreasi
seni mempunyai ciri khusus antara lain seperti dibawah ini.
a. Unik
Unik artinya
sesuatu yang lain dari pada yang lain, yang belum pernah dibuat orang
sebelumnya, baik dalam hal ide, teknik, dan media. Alangkah baiknya jika karya
senimu adalah hasil kreasimu sendiri, bukan mencontoh dari yang sudah ada.
Karya lain dapat digunakan sebagai pemicu munculnya gagasan. Kembangkanlah
gagasan tersebut menjadi sesuatu yang unik dan baru. Dengan demikian,
kreativitasmu akan terasah.
b. Individual (pribadi)
Artinya memiliki
kekhususan ciri dari seniman pembuatnya, yang berbeda dengan seniman lain
karena perbedaan pandangan, penghayatan, pengalaman, dan tehnik dalam membuat
karya seni. Bandingkanlah karyamu dengan
karya temanmu. Objek yang dipakai sebagai pemicu gagasan seni bisa jadi
sama. Tapi karena pandangan, penghayatan, pengalaman, dan teknik yang berbeda,
hasilnya tentu akan berbeda.
c. Ekspresif
Karya seni
merupakan hasil curahan bathin berupa penjabaran dari ide, renungan, perasaan,
atau pengalaman seniman. Seni yang tanpa curahan bathin seolah-olah kering dan
tak dapat menyentuh perasaan yang menikmatinya.
d. Universal
Karya seni dapat
dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, bangsa, dan generasi karena adanya
persamaan rasa estetik dan artistik.
e. Survival (tahan lama)
Nilai seni dalam
suatu karya seni dapat dinikmati sepanjang masa karena nilai estetikanya
bersifat konsisten. Contohnya, karya seni peninggalan zaman kuno, masih bisa
kita nikmati sekarang.
5. FUNGSI DAN TUJUAN SENI
Menurut
antropologi, kesenian adalah salah satu unsur budaya manusia. Kita dapat
merasakan dalam pengalaman hidup sehari-hari, betapa kita sangat membutuhkan
sarana berekspresi dan menikmati keindahan dalam berbagai bentuk.
Berdasarkan
fungsinya sebagai pemenuh kebutuhan, seni dipilah menjadi beberapa kelompok.
1. Fungsi Individual
Manusia terdiri
dari unsur fisik dan psikis. Salah satu unsur psikis adalah emosi. Maka fungsi
individual ini dibagi menjadi fungsi pemenuhan kebutuhan seni secara fisik dan
psikis / emosional.
a. Fisik
Fungsi ini banyak
dipenuhi melalui seni pakai yang berhubungan dengan fisik. Seperti
busana, perabot, rumah, musik senam, dan sebagainya.
b. Emosional
Dipenuhi melalui
seni murni, baik dari segi si pembuat / penggubah, maupun konsumen penikmat.
Contohnya, lukisan, novel, musik, tari, film, dan sebagainya.
2. Fungsi Sosial
Fungsi sosial
artinya dapat dinikmati dan bermanfaat bagi kepentingan orang banyak dalam
waktu relatif bersamaan. Fungsi ini dikelompokkan menjadi beberapa bidang.
a. Religi / keagamaan
Karya seni dapat
dijadikan ciri atau pesan keagamaan. Contoh: kaligrafi, busana muslim,
arsitektur atau dekorasi rumah ibadah, lagu-lagu rohani.
b. Rekreasi/hiburan
Seni dapat
dijadikan sebagai sarana melepas kejenuhan atau mengurangi kesedihan. Hal itu
dapat terjadi misalkan pada saat kita menyaksikan musik, tarian,
film, dan lawak.
c. Komunikasi
Seni dapat
digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu, seperti pesan, kritik, kebijakan,
gagasan, dan produk kepada orang banyak. Contoh: lagu balada, poster, drama
komedi, dan reklame. Tema yang sering dibuat antara lain:
a)
Ketidakdisiplinan anggota masyarakat terhadap lingkungan.
b)
Himbauan melaksanakan program pemerintah.
c)
Anjuran kesehatan / kesejahteraan.
d)
Ketidakadilan suatu kebijakan.
d. Pendidikan
Pendidikan juga
memanfaatkan seni sebagai sarana penunjangnya. Contoh: gambar ilustrasi buku
pelajaran, film ilmiah atau dokumenter, poster ilmiah, lagu anak-anak dan foto.
Materi BAB 2
1.
PENGERTIAN TEATER MODERN
Teater berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau
gedung pertunjukan. Dalam
perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai
segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam
rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang,
wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain
sebagainya (Harrymawan, 1993). Namun demikian, teater selalu dikaitkan dengan
kata drama yang berasal dari kata Yunani Kuno “draomai” yang
berarti bertindak atau berbuat dan “drame” yang berasal dari kata
Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan
lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih
ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting
tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata “drama” juga dianggap telah ada
sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM).
Hubungan kata “teater” dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan
perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks
atau naskah atau lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah
“teater” berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan
dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah
visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan
disaksikan oleh penonton. Jika “drama” adalah lakon dan “teater” adalah
pertunjukan maka “drama” merupakan bagian atau salah satu unsur dari “teater”.
Jika digambarkan maka peta kedudukan teater dan drama adalah sebagai berikut.
Dengan kata lain, secara khusus teater mengacu kepada
aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan (to act) sehingga
tindak- tanduk pemain di atas pentas disebut acting. Istilah acting diambil
dari kata Yunani “dran” yang berarti, berbuat, berlaku, atau beraksi.
Karena aktivitas beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor
dan pemain wanita disebut actress (Harymawan, 1993).
Meskipun istilah
teater sekarang lebih umum digunakan tetapi sebelum itu istilah drama lebih
populer sehingga pertunjukan teater di atas panggung disebut sebagai pentas
drama. Hal ini menandakan digunakannya naskah lakon yang biasa disebut sebagai
karya sastra drama dalam pertujukan teater. Di Indonesia, pada tahun 1920-an,
belum muncul istilah teater. Yang
ada adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa Belanda: Het
Toneel). Rombongan teater pada masa itu menggunakan nama Sandiwara,
sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan
permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah
teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim
Achmad, 2006). Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri
Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa
“sandi” berarti “rahasia”, dan “wara” atau “warah”
yang berarti, “pengajaran”. Menurut Ki Hajar Dewantara “sandiwara”
berarti “pengajaran yang dilakukan dengan perlambang” (Harymawan, 1993).
A.
Asal Mula Teater
Waktu dan tempat
pertunjukan teater yang pertama kali dimulai tidak diketahui. Adapun yang dapat
diketahui hanyalah teori tentang asal mulanya. Di antaranya teori tentang asal
mula teater adalah sebagai berikut.
1. Berasal dari
upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu yang
akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah
lama ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang.
2. Berasal dari nyanyian untuk menghormati seorang pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat
hidup sang pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.
3. Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita
itu kemudian juga dibuat dalam bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan,
perang, dan lain sebagainya).
Rendra dalam Seni Drama Untuk Remaja (1993), menyebutkan bahwa naskah
teater tertua di dunia yang pernah ditemukan ditulis seorang pendeta Mesir, I Kher-nefert, di zaman peradaban
Mesir Kuno kira-kira 2000 tahun sebelum tarikh Masehi. Pada zaman itu peradaban
Mesir Kuno sudah maju. Mereka sudah bisa membuat piramida, sudah mengerti
irigasi, sudah bisa membuat kalender, sudah
mengenal ilmu bedah, dan juga sudah mengenal tulis menulis.
I Kher-nefert menulis naskah
tersebut untuk sebuah pertunjukan teater ritual di kota Abydos, sehingga terkenal sebagai Naskah Abydos yang
menceritakan pertarungan antara dewa buruk dan dewa baik. Jalan cerita naskah
Abydos juga diketemukan tergambar dalam
relief kuburan yang lebih tua. Para ahli bisa memperkirakan bahwa jalan
cerita itu sudah ada dan dimainkan orang sejak tahun 5000 SM. Meskipun baru
muncul sebagai naskah tertulis di tahun
2000 SM. Dari hasil penelitian yang
dilakukan diketahui juga bahwa pertunjukan teater Abydos terdapat unsur-unsur teater
yang meliputi pemain, jalan
cerita, naskah dialog, topeng, tata busana, musik, nyanyian, tarian, selain itu
juga properti pemain seperti tombak, kapak, tameng, dan sejenisnya.
B. Teater Modern
1. Teater Transisi
Teater
transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater
tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok
teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan
memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang
sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud
cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per
adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung
pertunjukan.
Pada
periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater
non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional
berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda
di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi
(Batavia) dan mengawali berdirinya gedung
Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan
masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya
pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya
dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah
drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan
diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon
Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda,
Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan
bahasa Melayu Rendah.
Setelah
Komedie Stamboel didirikan muncul
kelompok sandiwara seperti Sandiwara
Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok
sandiwara lain, seperti Opera Stambul,
Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan,
Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan
lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan teater
pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan
dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan,
istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat
Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.
2.
Teater Indonesia tahun 1920-an
Teater
pada masa kesusasteraaan angkatan
Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater
modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan.
Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih
menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru
ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena
penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan
sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang pertamakali menggunakan bahasa
Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak
adalah Bebasari (artinya
kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari merupakan
sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan
perjuangan tokoh utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat
jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933) Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken
Dedes (1934). Armiijn Pane
mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti
Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama.
Nur Sutan Iskandar menyadur
karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis
drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong.
Mr. Singgih menulis drama
berjudul Hantu. Lakon-lakon ini
ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai
negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia
dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis
dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang
ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut
Bikutbi, dan Dr. Setan.
3.
Teater Indonesia tahun 1940-an
Semua unsur kesenian dan kebudayaan
pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung
pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di
arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam
situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa
perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan
kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan
kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal
6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia
dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang
(Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir
Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan
kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan
kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah
diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan
kesenian Indonesia, ternyata mengalami
hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu
yang membentuk badan perfilman dengan
nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja Djawa
Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia
nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia,
Pendekar Asia, yang kesemuanya merupakan corong propaganda
Jepang.
Dalam masa pendudukan Jepang
kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan
sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena
pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling
komersial, seperti misalnya Bintang
Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata
Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan
mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan
sandiwara Bintang Surabaya tampil
dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain
Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young,
Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara
lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan
Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan
pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan
Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian,
nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode
show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik .
Menyusul kemudian muncul
rombongan sandiwara Dewi Mada,
dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada dengan suaminya Ferry Kok, yang sekaligus
sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan
tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi
Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero.
Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan
Rencong Aceh.
Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena
bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru
kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan
sandiwara Warna Sari.
Keistimewaan rombongan sandiwara Warna
Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina,
yang terkenal sebagi Raja Drum.
Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari
separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke
kiri sehingga menarik minat penonton. cerita-cerita yang dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan
Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.
Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan
sandiwara Sunda Mis Tjitjih,
yaitu rombongan sandiwara yang digemari
rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa
berlindung di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi
rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang
mementaskan cerita-cerita
baru untuk kepentingan propaganda Jepang.
Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama
Jaya pada tanggal 6 April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan
muda Matahari. Hanya kalangan
terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari
yang menampilakan hiburan berupa
tari-tarian pada awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon sandiwara
dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh
penonton umum yang lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak
satu dengan babak lain sehingga akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara
tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon
yang ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa
Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna,
dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu
Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo
di Waktu Malam dan Nusa Penida.
Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu.
Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu
memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan
Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan sandiwara
profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap
rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat
Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik
Ibsen diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh Armijn
Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus
ditulis lengkap berikut dialognya. Para
pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis
dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya
naskah dalam setiap pementasan
sandiwara.
Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan
sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota
cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan
lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan
agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional
dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi
kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan
religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan.
Bahwa teori teater perlu dipelajari
secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional
Indonesia di
Jakarta.
4.
Teater Indonesia Tahun 1950-an
Setelah perang
kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan
perjuangan dalam perang kemerdekaan,
juga sebaliknya, mereka merenungkan
peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai
kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut,
keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa perang secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar
Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf
(Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan
Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik
Hitam (Nasyah Jamin,
1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah
Jamin, 1959). Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan
paska perang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan,
Islam dan Komunisme, melalaikan penderitaan korban perang, dan lain-lain. Tema
itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang
Ada Orang Lain (1953) karya Utuy
Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh
Akhdiat Kartamiharja (1956)
berdasarkan The Man In Grey Suit karya
Averchenko dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya
John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai
awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering
menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan
sampai ke Malaysia.
Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya
menjadi pilihan generasi yang terbiasa
dengan teater barat dan dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov.
Kedua seniman teater Barat dengan idiom
realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun
1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul
Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan
dari Barat, seperti karya-karya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode
pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian.
Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern yang pertama di Asia
Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara
antara lain, Teguh Karya, Wahyu
Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim
Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955
Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia
(ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.
5.
Teater Indonesia Tahun 1970-an
Jim lim mendirikan Studiklub Teater Bandung dan
mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater
etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan
teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim
mulai dikenal oleh para aktor terbaik dan para sutradara realisme konvensional.
Karya penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman
Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The
Glass Menagerie (Tennesse
William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya
longser, teater rakyat Sunda.
Tahun 1962 Jim Lim
menggabungkan unsur wayang kulit dan
musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan
gaya realistis tetapi isinya absurditas
pada lakon Caligula (Albert
Camus, 1945), Badak-badak (Ionesco,
1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun, salah satu
aktor dan juga teman Jim Lim, melanjutkan
apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu mencampurkan unsur-unsur teater Barat
dengan teater etnis.
Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari
batasan realisme konvensional terjadi
pada tahun 1967, Ketika Rendra kembali
ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak
berdasarkan naskah jadi (wellmade play)
seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari
improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu
tema yang diistilahkan dengan teater
mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya,
Bib Bop dan Rambate Rate
Rata (1967,1968).
Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta
tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya
aktivitas, dan kreativitas
berteater tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar seperti Bandung,
Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain.
Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas)
pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum
atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht, Artaud
dan Grotowsky juga diperbincangkan.
Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu
teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk) melalui
Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya,
Teater Lektur, Teater Mlarat
Malang). Di Yogyakarta Azwar AN
mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater
Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan
teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater
Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan
Piliang.
Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an lainnya adalah, Teguh Karya
(Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater
Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya
pementasan yang kaya irama dari blocking,
musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater
Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras.
Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada
aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror.
N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata
artistik glamor.
6.
Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam
melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya
kehidupan politik kampus sebagai akibat
peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi
seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian merupakan produk festival teater. Di Jakarta
dikenal dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater
Remaja). Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni
Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik
Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh
Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F.
Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di
berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater
Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan
Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol
dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di
masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring,
Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde
Tabung.
Di Solo
(Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita
yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul
Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada
juga Teater Gidag-gidig. Di Bandung
muncul Teater Bel, Teater Re-publik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir
teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita,
Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong,
Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul
Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot.
Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok teater seperti, Teater Sae
yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan
cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar
Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater
Kami yang lahir di luar produk festival (Afrizal
Malna,1999).
Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan
tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut
Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya
perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater
pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan membuka
kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik.
2. TEATER
TRADISIONAL
Kasim
Achmad dalam bukunya Mengenal Teater
Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di
Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda
bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara
ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan
ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada
saat itu, yang disebut “teater”,
sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu
bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara,
unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari
spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya.
Proses
terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi
dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu
berbeda-beda, tergantung kondisi
dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional
lahir. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di
daerah-daerah di Indonesia.
A.
Wayang
Wayang
merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri
bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan
wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman
Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja
Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat
pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan
bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk
semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada Zaman Raja
Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian
tradisi yang sangat tua. Sedangkan
bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya.
Awal
mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada
tahun 930. Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para
leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa
dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya
hanya digambar di dalam rontal (daun
tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang
kulit sebagaimana dikenal
sekarang.
B. Wayang Wong (wayang orang)
Wayang Wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu
pertunjukan wayang kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah
bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari Wayang Kulit yang
dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari
dan menyanyi, seperti pada umumnya teater tradisional dan tidak memakai topeng. Pertunjukan wayang
orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat ada juga
pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak begitu populer.
Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para seniman untuk keperluan
pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan oleh orang. Wayang
yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang kulit -hingga tidak
muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para pemainnya
sendiri. Sedangkan wujud pergelarannya
berbentuk drama, tari dan musik.
Wayang
orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional, karena
tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang Dalang
bertindak sebagai pengatur laku dan tidak muncul dalam pertunjukan. Di Madura,
terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda, karena masih menggunakan
topeng dan menggunakan dalang seperti pada wayang kulit. Sang dalang masih
terlihat meskipun tidak seperti dalam pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang
ditempatkan dibalik layar penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak
pemain di depan layar penyekat. Sang Dalang masih mendalang dalam pengertian
semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang Dalang karena para pemain memakai
topeng. Para pemain di sini hanya menggerak-gerakan badan atau tangan untuk mengimbangi
ucapan yang dilakukan oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai menari.
Pertunjukan ini di Madura dinamakan topeng
dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain
tidak mengucapkan dialog.
C. Makyong
Makyong
merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang
paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada
mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya
kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan juga cerita-cerita
kerajaan. Makyong juga digemari oleh
para bangsawan dan sultan-sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana.
Bentuk
teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan
dengan menggunakan media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan dialog dengan
membawa cerita-cerita rakyat yang sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita
rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu. Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa
Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong berasal dari daerah Riau,
kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.
Pementasan
makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai
tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera dimulai. Setelah penonton
berkumpul, kemudian seorang pawang (sesepuh dalam kelompok makyong)
tampil ke tempat pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai
yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah
dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar.
D. Randai
Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan
yang terdapat di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai
masih hidup dan bahkan berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya,
terutama di daerah pedesaan atau di kampung-kampung. Teater tradisional di
Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra
lisan yang disebut “kaba”
(dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita.
Ada
dua unsur pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu.
1. Pertama,
unsur penceritaan. Cerita yang disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam,
dendang dan lagu. Sering
diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu salung, rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat
dialog.
2. Kedua,
unsur laku dan gerak, atau tari, yang dibawakan melalui galombang. Gerak
tari yang digunakan bertolak dari gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan
berbagai variasinya dalam kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.
E. Mamanda
Daerah
Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang
paling populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat
kerakyatan, yang orang sering
menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada
tahun 1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka
yang lebih dikenal dengan Komidi Indra
Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap
perkembangan teater tradisional di Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir,
telah ada suatu bentuk teater rakyat yang dinamakan Bada Moeloek,
atau dari kata Ba Abdoel Moeloek.
Nama teater tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.
F. Lenong
Lenong
merupakan teater rakyat Betawi. Apa yang disebut teater tradisional yang ada
pada saat ini, sudah sangat berbeda dan jauh berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat lingkungannya, dibandingkan dengan
lenong di zaman dahulu. Kata daerah
Betawi, dan bukan Jakarta, menunjukan bahwa yang dibicarakan adalah
teater masa lampau. Pada saat itu, di
Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang Belanda menyebutnya: Batavia) terdapat empat jenis teater tradisional yang
disebut topeng Betawi, lenong,
topeng blantek, dan jipeng atau jinong. Pada
kenyataannya keempat teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan
umumnya hanya pada cerita yang dihidangkan dan musik pengiringnya.
G. Longser
Longser
merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di
Jawa Barat, termasuk kelompok etnik Sunda. Ada beberapa jenis teater rakyat di
daerah etnik Sunda serupa dengan longser, yaitu banjet. Ada lagi di daerah
(terutama, di Banten), yang dinamakan ubrug.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa longser berasal dari kata melong
(melihat) dan seredet (tergugah). Artinya barang siapa melihat
(menonton) pertunjukan, hatinya akan tergugah. Pertunjukan longser sama dengan
pertunjukan kesenian rakyat yang lain, yang bersifat hiburan sederhana, sesuai
dengan sifat kerakyatan, gembira dan jenaka. Sebelum longser lahir, ada
beberapa kesenian yang sejenis dengan Longser, yaitu lengger. Ada lagi yang serupa, dengan penekanan pada tari,
disebut ogel atau doger.
H. Ubrug
Ubrug
merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah
Banten. Ubrug menggunakan bahasa daerah Sunda, campur Jawa dan Melayu, serupa
dengan topeng banjet yang terdapat di daerah Karawang. Ubrug dapat dipentaskan
di mana saja, seperti halnya teater rakyat lainnya. Dipentaskan bukan saja
untuk hiburan, tetapi juga untuk memeriahkan suatu “hajatan”, atau meramaikan
suatu “perayaan”. Untuk apa saja, yang dilakukan masyarakat, ubrug dapat
diundang tampil.
Cerita-cerita
yang dipentaskan terutama cerita rakyat, sesekali dongeng atau cerita
sejarah Beberapa cerita yang sering
dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung atau Si
Jampang (pahlawan rakyat setempat,
seperti juga di Betawi). Gaya penyajian cerita umumnya dilakukan seperti pada
teater rakyat, menggunakan gaya humor (banyolan), dan sangat karikatural sehingga selalu mencuri perhatian para penonton.
I. Ketoprak
Ketoprak
merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan
daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di
daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam
kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak.
Pada
mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang menghibur
diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut gejogan. Dalam perkembangannya menjadi
suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan salah satu bentuk
teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat
memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan
masalah unggah-ungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat
bahasa yang digunakan, yaitu:
1.
Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
2.
Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
3.
Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang
tertinggi)
Menggunakan
bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan tingkat-tingkat
bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan
bahasa yang halus dan spesifik.
J. Ludruk
Ludruk merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan di daerah Jawa
Timur, berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa
dengan dialek Jawa Timuran. Dalam perkembangannya ludruk menyebar ke
daerah-daerah sebelah barat seperti karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke
Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun
semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat. Peralatan
musik daerah yang digunakan, ialah kendang, cimplung, jidor dan gambang dan
sering ditambah tergantung pada kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut.
Dan lagu-lagu (gending) yang digunakan, yaitu Parianyar, Beskalan,
Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian.
Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh
pria. Hal ini merupakan ciri khusus ludruk. Padahal sebenarnya hampir seluruh
teater rakyat di berbagai tempat, pemainnya selalu pria (randai, dulmuluk,
mamanda, ketoprak), karena pada zaman itu wanita tidak diperkenankan muncul di
depan umum.
K. Gambuh
Gambuh merupakan teater tradisional yang paling tua di Bali dan
diperkirakan berasal dari abad ke-16. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa
Bali kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh orang Bali sekarang. Tariannya
pun terasa sangat sulit karena merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau gambuh merupakan sumber dari
tari-tarian Bali yang ada. Sejarah gambuh telah dikenal sejak abad ke-14 di Zaman
Majapahit dan kemudian masuk ke Bali pada akhir Zaman Majapahit. Di Bali,
gambuh dipelihara di istana raja-raja.
Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur cerita Panji
yang diadopsi ke dalam budaya Bali. Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya
adalah Damarwulan, Ronggolawe, dan Tantri. Peran-peran utama
menggunakan dialog berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali.
Sering pula para punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali
biasa.
Suling
dalam gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan
nafas yang sangat sukar, mendapat tempat yang khusus dalam gamelan yang
mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh mengandung
kesamaan dengan “opera” pada teater Barat karena unsur musik dan menyanyi
mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu para penari harus dapat menyanyi.
Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru
tandak, yang duduk di tengah gamelan dan berfungsi sebagai penghubung antara
penari dan musik. Selain dua atau empat suling, melodi pegambuhan dimainkan
dengan rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam gamelan adalah
pemain kendang lanang atau disebut juga kendang pemimpin. Dia memberi aba-aba
pada penari dan penabuh.
L. Arja
Arja
merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di
Bali. Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater
yang penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam gending yang terdapat di daerah
Jawa Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk
nyanyian (tembang). Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang
disederhanakan unsur-unsur tarinya, karena ditekankan pada tembangnya. Tembang
(nyanyian) yang digunakan memakai bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus
yang disusun dalam tembang macapat.
3. TEATER
TRADISIONAL MADURA
A. Wayang Kulit
Pasangan Brandts Buys-van Zijp
(1928: 4-5) mencatat bahwa orang Madura jauh lebih menyukai pertunjukan topeng
daripada pertunjukan wayang kulit. Hal itu sangat berbeda dari apa yang terjadi
di Jawa Timur terutamanya. Demikian pula Pigeaud menulis (1938: 148):
"Budaya Jawa kuno yang disertai 'budaya pewayangan' seperti yang dijumpai
di Jawa Tengah tidak pernah berakar dalam di lingkungan budaya Sunda dan
Madura".
a. Pengaruh
Budaya
Wayang kulit
mungkin dibawa ke Madura oleh kaum bangsawan. Banyak diantara para bangsawan
Madura berkerabat dengan bangsawan Jawa Tengah, dan amat meminati segala jenis
seni Jawa yang juga merupakan sumber prestise. Dengan demikian, sedikit demi
sedikit berkembanglah suatu ragam pewayangan Madura, yang berada di antara
ragam Jawa dan ragam Bali.
Dengan merosotnya
keraton‑keraton Madura secara bertahap pada akhir abad ke‑19, nampaknya
kesenian dari keraton ini tidak diambil alih oleh masyarakat perdesaan yang
memang tidak memiliki tradisi pendukung. Itulah sebabnya, wayang kulit Madura
kini hampir hilang sama sekali. Ada kemungkinan bahwa pada masa lalu wayang
kulit hadir bersamaan dengan wayang topeng, seperti yang terjadi di Jawa.
Wayang kulit
mungkin telah berkembang secara khusus di lingkungan keraton dan keluarga
bangsawan, sedangkan wayang topeng dipertunjukkan baik di kalangan keraton
maupun di lingkungan pedesaan, di dalam bentuk yang kadang-kadang berbeda,
suatu keadaan yang melindunginya dari kepunahan total.
b. Pagelaran
wayang kulit Madura
Pertunjukan
wayang madura memiliki banyak ciri khas dan
sangat berbeda dari jenis wayang kulit yang kini dipergelarkan di Jawa
dan Bali. Dhalang duduk di atas sebuah lencak (tempat tidur rendah dari kayu dan bambu) yang ditempatkan
di dalam sebuah ruang kecil tertutup di tiga sisi, kecuali di depan, dan dengan
sebuah plafon dari terob. Segi keempat yang menghadap ke penonton ditutup
bagian bawahnya dengan layar yang menyembunyikan sang dhalang. hanya bagian atasnya yang terbuka untuk permainan boneka
wayang. Hiasan‑hiasan berupa layar, ukiran, dan tiang keemasan
membingkai tempat panggung bersegi empat itu.
Boneka wayang, terbuat
dari kulit berukir, langsung dimainkan tanpa layar dan bayangan, seperti
memainkan boneka berbentuk patung. Sebuah bola lampu besar tergantung
di plafon dan menerangi dhalang serta
bonekanya. Seorang sinden duduk
berdekatan dengan dhalang. Gamelan berada
di luar, di sisi luar ruang dhalang, tepat
di depan penonton.
Tata ruang
semacam itu tidak memungkinkan dhalang untuk
mernberi isyarat langsung kepada gamelannya, seperti yang lazim dilakukan pada
pertunjukan wayang lain. Oleh karena itu, dhalang
menggunakan larnpu beraneka warna (dua putih, satu hijau, satu kuning dan
satu merah) yang ditempatkan di kaki kotaknya, di depan orkes, agar dapat
mernberikan perintah mengenai tempo, kornposisi, dan sebagainya, dengan
menggunakan isyarat yang telah ditentukan sebelumnya.
Sebagai
perbandingan, tata letak wayang kulit Jawa dan Bali adalah sebagai berikut:
orkes, seorang pesinden atau lebih, dan dhalang sernua berada di sisi yang sama dengan
layar; penonton berada di kedua sisi, dapat di sisi dhalang atau di sisi wayang, tergantung pada kebiasaan setempat.
Dengan demikian, dhalang dapat
mernimpin dari dekat semua segi pertunjukan yang serba rumit itu. Perbedaan
lain: yang memukul lernpengan‑lempengan logam kepprak, untuk mernberi tekanan pada adegan kekerasan atau
percakapan seru, serta untuk mempercepat tempo, adalah seorang anak laki‑laki
yang duduk dekat dhalangnya, sedangkan di Jawa dan Bali dhalanglah yang
melakukannya.
Adapun wayang
agaknya dibuat supaya dapat dilihat dan digerakkan tanpa bayangan karena
ukirannya sederhana dan warnanya agak mencolok. Perangkat wayang relatif masih
baru dan gayanya mirip wayang dari Bali. Kayon atau gunungannya terdiri dari
tiga unit dan bukan satu seperti di dalam wayang kulit klasik. Cerita yang dimainkan berjudul Aji Pancasona
dengan tokoh dari kisah Mahabharata dan dimainkan dengan bahasa Madura tidak mengikuti
pola biasa dan tampak sebagai kreasi bebas dari dhalang
B. Topeng Dhalang
Pertunjukan topeng sebagai genre kesenian mandiri,
yaitu pertunjukan musikal dengan topeng clan tarian, disutradarai hanya oleh
seorang pencerita, yakni dhalang. Oleh
karena itu, pertunjukan topeng sering disebut topeng dhalang, untuk membedakannya dari pertunjukan topeng lain
yang tidak menggunakan dhalang. Kadang‑kadang
ada pelawak bertopeng setengah muka turut berbicara‑karena mulut mereka bebas‑tetapi
sernua tokoh lain diwakili oleh suara dhalang,
seperti di dalarn pertunjukan wayang kulit (itulah sebabnya pertunjukan
topeng ini disebut juga wayang topeng).
a. Panggung
Pertunjukan
Dhalang duduk bersila di antara pemusik gamelan dan tidak
terlihat oleh penonton karena disekat oleh kain yang dicat. Dialah yang
menuntun penari topeng yang sedang berpentas di sebelah kain itu, di depan
penonton. Para penari itu memberikan raga yang hidup, walaupun bertopeng,
kepada suara dhalang yang berubah‑ubah
dan mereka bergerak dengan memberi kesan bahwa mereka adalah boneka wayang yang
hidup.
Pada kain
penyekat dibuat beberapa lubang pada ketinggian yang cocok supaya dhalang dapat mengikuti pernentasan yang
berlangsung dibelakang kain. Jarang disediakan panggung tinggi; pada umumnya
para penari atau pemain bermain di lantai, pada ketinggian yang sama dengan
penonton yang mengitari panggung di tiga sisinya. Sisi keempat adalah tirai
latar belakang yang menyembunyikan dhalang,
orkes, dan tempat persiapan penari.
Rombongan biasa
terdiri dari dua puluh sampai empat puluh anggota, termasuk pernain musik,
pernain‑penari dan juru teknik. Rombongan itu tidaklah terdiri dari pemain
profesional, tetapi menggabungkan petani, tukang, pedagang kecil, karyawan yang
mencari tambahan nafkah, terutama pada musim kemarau. Hanya beberapa dhalang terkenal dapat dianggap sebagai
semiprofesional.
b. Lakon atau
Cerita pada pertunjukan Topeng Dhalang
Dhalang menggunakan sernua tingkatan bahasa Madura dan Jawa,
bahkan dengan sedikit menggunakan bahasa Indonesia pula. Di daerah Sumenep
kebanyakan lakon yang dimainkan mengangkat dari adegan wiracerita Ramayana dan Mahabharata. Adegan itu disesuaikan oleh setiap dhalang yang kerap pula menciptakan
adegan baru berdasarkan cerita rakyat yang demikian luas itu.
Beberapa lakon
yang diainkan pada pementasan topeng Dhalang diantaranya; Arjuna Kembhar, Romo Gandrung, Gatotkaca Palsu, Romo Panganten,
Pandhaba Uma, Kresna Toron, Sumbodro Tondhung, Prabu Dosomoko, dsb. Salah
satu rombongan dari Dasok selain mengambil lakonnya dari Ramayana dan Mahabharata, juga
merujuk kepada cerita Panji, atau menggabungkan adegan dari beberapa cerita
rakyat (misalnya Panji Jaeng Kusumo, nama. tokohnya). Rombongan itu juga mengangkat
banyak cerita yang dianggap kuno yang konon diturunkan dari leluhur dan
disimpan di dalam buku yang terbuat dari kulit kayu: Polo Salaka (Pulau Perak), Polo
Mas (Pulau Mas), Tase' Beddhi (Lautan
Pasir), Kole'Pesse (Kulit Besi).
Meskipun topeng Panji dikenal populer di daerah
Jawa Timur dan Pamekasan, topeng‑topeng daerah Sumenep lebih sering mengambil
gaya Panji (dari wayang gedog) daripada gaya Purwo (dari wayang purwa yang mengangkat cerita Ramayana dan Mahabharata).
Untuk ritus‑ritus
tertentu, yaitu rokat pandhaba, rombongan
topeng mementaskan cerita khusus. Rokat adalah upacara yang berfungsi mencegah
bahaya yang menghantui sebuah rumah, seseorang, atau suatu masyarakat. Rokat pandhaba (berasal dari Lima
Pandawa dalarn teks Mahabharata) dilaksanakan
khusus untuk orang yang dianggap mengidap bala karena kelahirannya: beberapa
konfigurasi dalam hubungan persaudaraan dianggap pembawa sial untuk kakak/adik
yang bersangkutan, dan sial itu harus dienyahkan melalui ritus yang sesuai,
yaitu rokat pandhaba. Hanya sebuah
cerita yang dipentaskan selama ritus ini: rokat
Bhatara Kala yang dipentaskan seusai pertunjukan topeng biasa, apa pun
lakon yang dipilih untuk yang terakhir ini menjelang mata hari terbit.
Rombongan topeng biasanya dipanggil untuk
berpentas pada perayaan perkawinan atau rokat
atau hajhat, yaitu upacara
hajatan pribadi yang bersifat ritual atau untuk membayar nadar? Pada umumnya
tuan rumahlah yang memesan lakon yang diinginkan. Kadang‑kadang rombongan
mementaskan lakon pendek sebelum atau sesudah pertunjukan pokok pada malam
hari, pada tengah hari jika rombongan itu disewa untuk acara perkawinan yang
lama sekali, dan bukan untuk satu malam saja (dari pukul 21.00 malam sampai
terbitnya matahari).
c. Jenis Topeng Madura
Topeng Madura
terpasang berkat dua tali yang diselipkan ke belakang kepala. Sistem topeng cokotan Jawa, dengan pernain menggigit
lidah kayu atau kulit yang ada di bagian dalam topeng, jarang digunakan. Topeng
Madura lebih kecil daripada topeng Jawa. Tingginya dari 12 sampai 16 cm, dan
lebarnya 15 sampai 21 cm (menurut Soelarto, 1977: 111). Dewasa ini semua topeng
terbuat dari kayu, pada umumnya kayu dadap.
Semua pertunjukan
topeng tanpa perkecualian (dari ta‑bhutaan
sampai ke topeng sendiri) dimainkan oleh pernain laki‑laki saja. Yang
paling muda dengan berdandan ala waria, dapat memainkan peran perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar